Rabu, 10 September 2008

hey

this blog is move into www.sarapandingin.wordpress.com

Senin, 08 September 2008

Sahur yang beriklan

(Tanggapan pada ulasan Budi Suwarna (Kompas, 7 September 2008) yang berjudul Parade iklan waktu sahur
Saat sahur, saya dan kebanyakan orang yang terbangun dari tidur lelap, berjuang untuk membangun mood makan sahur, karena mulut & kerongkongan kering, mata masih buka tutup walaupun sudah dibasuh dengan air, dan perut serasa tidak menyenangkan. Acara TV saat sahur menurut saya adalah acara yang tepat untuk membangun mood makan sahur saya (andaikan ada acara semacam wisata kuliner, justru lebih membantu mood makan bagi saya dan kebanyakan orang. Menurut saya, wajar apabila acara-acara TV saat sahur dibuat sesederhana mungkin, komedi ringan dan kuis (yang tepat disebut bagi-bagi rezeki), toh otak kita juga masih bimbang memilih antara bantal atau nasi. Akan membuat saya tersedak saat makan sahur apabila acara-acara yang saya tonton berupa ceramah atau perdebatan dengan tema yang berat dan kuis-kuis dengan pertanyaan semacam “berapakah diameter dari planet jupiter?” atau “uraikanlah tentang hukum relativitas khusus?”. Saya salut pada stasiun TV yang membuat acara-acara sederhana tetapi bisa mendatangkan sponsor yang sangat banyak. Saya sarankan, cobalah untuk melihat acara tersebut sebagai hiburan yang bonusnya iklan. Tidak jarang iklan membantu kehidupan kita sehari-hari, anggaplah sebagai rekomendasi suatu produk. Toh iklan-iklan yang memanfaatkan acara TV (khususnya saat sahur) bisa dibilang jalan ditempat dalam hal kreatifitas, karena metode yang lebih kreatif belum dibutuhkan, kita tidak hidup di negara maju yang persaingan industri komersil sangat ketat sehingga mereka dengan mudahnya lepas dari zona aman, karena zona aman itu juga sudah tidak menguntungkan lagi. Berbeda dengan di Indonesia, zona aman itu masih eksis sampai sekarang, dan selama masih menguntungkan, mengapa tidak.
Tentang Iklan
Lebih realistis, dan lebih abu-abu lagi sekarang, kita semua tahu bahwa di Indonesia brand yang tidak secara terang-terangan memperlihatkan brand atributnya akan kalah pada persaingan antar brand di industrinya untuk mendoktrin masyarakat, doktrin yang bertubi-tubi dibutuhkan untuk menanamkan brand pada pola pikir sadar maupun tidak sadar masyarakat indonesia pada umumnya. Di dalam industri yang saling berkaitan antara acara TV dan iklan, terdapat pola yang saling mengikat satu sama lainnya, pihak pertama Stasiun TV dengan suatu acara, pihak kedua adalah sponsor, dan terakhir sebagai pelengkap adalah masyarakat sebagai penonton saja (sebagai alibi data valid stasiun TV untuk share marketnya dalam suatu acara yang diproduksinya). Ketiga bagian tadi saling berkaitan, hilang satu, akan tampil blue screen di TV kesayangan kita. Menurut saya, cukup kreatif cara sebuah acara sahur itu menyusupi iklan. Yang belum ada dalam tulisan berjudul parade iklan waktu sahur adalah Sisipan produk sponsor dikondisikan sangat realistis terhadap keadaan acara semikuis yang melibatkan pesan-pesan dari iklan dibuat sangat mirip dengan apa yang ada di ITC, atau beberapa set kondisi lingkungan kita. Iklan-iklan saat waktunya muncul sudah diklasifikasikan (percaya atau tidak, klasifikasinya dapat kita raksakan melalui jenis iklannya. Jadi, kita tidak pernah dipaksa untuk melihat iklan bukan, daripada kita apatis terhadap acara-acara tersebut cobalah untuk lebih memahami pihak-pihak yang bergerak di dalam industri broadcasting dan advertising, tiga pihak yang saling membutuhkan, sistem yang masih saja berkerak dan tidak berubah-berubah. Mungkin beberapa tahun lagi kita dapat menikmati acara-acara TV dengan penyisipan iklan yang lebih kreatif dan tidak disangka-sangka. Tidak perlu merasa kecewa terhadap eksploitasi iklan di acara yang dapat membangun mood makan sahur, jadikanlah acara+iklan sebagai suatu kesatuan totonan, ikan dengan acara xx, atau acara xx dengan iklan, jika masih kecewa gunakanlah Tivo (sayang di sini belum ada) atau tekan tombol off pada remote TV anda.

Jumat, 05 September 2008

Malaysia lagi, malaysia lagi

Dari Gatra online:

Malaysia Desak Pembatasan Lagu Indonesia

Kuala Lumpur, 4 September 2008 07:34
Para pendengar radio di Malaysia bakal kesulitan untuk mendengar lagu-lagu Indonesia kalau saja pemerintah setempat mengabulkan permintaan pembatasan penyiaran lagu Indonesia.

Adalah Persatuan Karyawan Industri Musik Malaysia (Karyawan), yang mengusulkan pembatasan penyiaran lagu-lagu Indonesia di radio. Rencananya usulan tersebut akan disampaikan kepada Menteri Tenaga, Air, dan Komunikasi Malaysia, Shaziman Abu Mansor.

"Kami akan menghadap menteri Shaziman besok (Kamis, 4/9) untuk menyampaikan tuntutan kuota 90 persen siaran lagu-lagu Malaysia, sisanya baru lagu Indonesia 10 persen," kata Ketua Karyawan, Ahmad Abdullah, kepada Malaysiakini.com, Rabu (3/9).

Menurut Karyawan, jika tuntutan kuota itu tidak diterima, perbandingan 80:20 masih bisa diterima.

Tuntutan itu didukung sekitar 700 karyawan yang bekerja di industri musik. Dalam pertemuan itu, Presiden Karyawan Freddie Fernandez, komposer dan penyanyi terkenal M Nasir dan Nan Saturnie akan hadir dalam pertemuan dengan menteri.

Para karyawan industri rekaman Malaysia sudah lama memprotes dan menuntut agar radio di Malaysia tidak terlalu banyak menyiarkan lagu Indonesia karena akan menambah penjualan album penyanyi Indonesia di Malaysia, dan menurunkan pangsa pasar album penyanyi Malaysia.

Para penyiar dan pengelola stasiun radio Malaysia beralasan seringnya memutar lagu Indonesia disebabkan banyaknya permintaan dari pendengar.

Bahkan, tiga stasiun radio swasta yang saling berlomba menduduki posisi teratas di Malaysia, Era FM, Hot FM, dan Suria FM, memiliki program pemutaran lagu Indonesia setiap hari Minggu, antara jam 10-12 siang.

Penyanyi rock terkenal Malaysia, Amy Search, mengatakan bahwa jika jam 10 malam ke atas Malaysia sudah seperti Jakarta karena semua radio menyiarkan lagu-lagu Indonesia hingga dinihari.

Karena banyak penggemarnya, banyak perusahaan telekomunikasi seperti Maxis, DIGI, Celcom, dan Telekom Malaysia yang mensponsori konser musik musisi Indonesia di Malaysia. [EL, Ant]

Sostenidos de tanta muerte






- Peradaban dan pembinasaan tak pernah terpisahkan-

Balancing needed to be. every civilization came with it cursed. ketika peradaban sudah mencapai batas maksimum, bearti sudah tidak adalagi yang perlu ditambah, dan muncul banyak sekali orang-orang serakah yang mulai baku hantam, hingga peradaban itu hancur semudah memporak-porandakan sebuah peradaban Aztec dengan teknologi mesiu. serakah yang membuatnya begitu.

Untuk membuat peradabaan yang baru di perlukan beberapa pembinasaan yang lazim maupun tidak lazim, dimulai dari keserakahan dengan alasan "for the greater good" god damned!!!

Dalam setiap peradaban muncul orang-orang antitrust, yang memang ditakdirkan untuk selalu sial dengan pure heart, tetapi lama-kelamaan menjadi apatis dengan semua orang dan mulai membentengi dirinya sendiri.

Ketika sebuah peradaban hancur, hilang sudah semuanya, sebuah ekosistem buatan manusia runtuh, dan kadang diselingi dengan intrik asap mengepul. Timbul banyak sekali bakal calon daun yang diembuni.

Ketika belum Kiamat, peradaban silih berganti datang dan pergi, ketika belum kiamat banyak sekali orang-orang yang serakah, ketika belum kiamat kita semua disibukkan dengan 'bagaimana caranya membentegi diri kita sendiri', ya, semua itu tidak akan ada habisnya, dan reorganisasi organisme tetap masih bisa berlangsung secara berulang-ulang.


Kamis, 04 September 2008

Related with the last post (dan masih banyak lagi)










Menonton Buku, Membaca Film

Pertanyaan pertama adalah; Berapa banyak buku yang diterbitkan tiap bulannya, saya tidak pernah tahu angka yang signifikan, tetapi ketika menyempatkan diri ke toko buku, saya bisa tahu buku mana yang baru saja diterbitkan (karena memang ada rak-rak atau meja khusus yang disediakan untuk buku baru, baik fiksi maupun non fiksi). Kebanyakan buku-buku itu terutama novel, essai atau karya sastra yang lainnya dilapisi plastik pelindung yang sudah tentu tidak dapat dibuka untuk sekedar dibaca di toko buku, atau kalaupun ada yang dibuka tidak ada tempat duduk nyaman seperti di perpustakaan yang membiarkan pembaca buku menggunakan waktunya berjam-jam untuk sekedar membaca buku. Lepas dari sisi marketing dan kebijakan toko buku, menurut pandangan saya, ketika buku mulai dibungkus plastik berarti sama saja dengan sebuah barang untuk di konsumsi seketika dan mudah rusak (barang yang menurut saya asosiatif dengan makanan yang dibungkus atau makanan dalam kemasan, contohnya; snack). Di dalam sebuah makanan dalam kemasan saya bisa mengetahui komposisinya dan informasi nutrisinya apa melalui bungkusnya, lalu saya bayangkan rasanya seperti apa. “Tortila chips rasa barberque” misal, saya tahu rasanya seperti apa, dan tidak memerlukan sampling, saya putuskan untuk membeli walaupun kadang kemasannya tidak menarik, saya pikir yang penting adalah komposisi rasanya. Kembali kepada permasalahan buku yang dikemas, orang awam seperti saya akan tergoda jika buku itu mempunyai sampul yang menarik, atau ada tulisan glossy yang bertuliskan “best seller”, atau ada tulisan “rekomendasi Mr X / Mrs X (X = seseorang yang terkenal dengan talkshownya atau mungkin terkenal di komunitasnya) atau ada tulisan peraih penghargaan apa atau diletakkan di display yang paling kelihatan mata, atau mungkin dekat dengan meja kasir (mungkin hasil negosiasi yang berbelit antara publisher dengan pihak toko buku). Don't judge a book by the cover, salah, yang benar adalah judge a book by the cover, yes it is, I really do, selama ini saya melihat buku dari covernya, pengaruh terbesar untuk memutuskan membeli buku adalah berdasarkan covernya (menurut saya), variabel yang lain adalah sinopsis buku di bagian belakang, Penulisnya, dan judulnya yang mungkin mainstream dan juga mungkin tidak mainstream, satu alasan karena buku tersebut dikemas rapat dengan plastik tipis transparan. Akhirnya saya tersadar bahwa banyak buku yang sangat bagus tapi nasibnya tidak berkilau seperti buku dengan tulisan best seller, banyak yang tidak tersentuh karena isinya terlalu berat, atau karena isinya kurang komersil, dan mungkin tidak lazim. Jadi bagus atau tidaknya buku adalah relatif sama bagi kebanyakkan orang, dan tidak luput dari faktor promosi yang gencar. Dari banyaknya buku yang diterbitkan perbulan, hanya beberapa yang bersinar, selebihnya masih rapih terbungkus plastik, dan ditaruh di rak yang ketika mau meraih buku itu harus membungkuk terlebih dahulu, buku-buku bagus itu tidak diletakkan di eye level (eye level; bagian rak yang sejajar dengan pandangan mata), tapi justru menunggu untuk di retur. Sedangkan buku-buku yang bersinar oleh entah apa namanya sebuah promosi gencar-gencaran, dan disukai mayoritas justru nanti akan jauh lebih bersinar ketika menjadi script film dan merchandisenya ada di mana-mana.

Ketika beberapa novel dijadikan script untuk film, kita mulai berandai-andai akankah novel favorit akan dijadikan film, saya lihat dulu apakah novel favorit saya ada embel-embel di covernya, oh ternyata tidak, ya simpan saja novel itu sampai saya atau mungkin orang lain tergerak untuk membuat film berbudget rendah. Kabar terakhir yang saya dengar adalah sebuah novel akan difilmkan oleh sutradara ternama, sebelumnya ada beberapa teenlit dan chicklit yang sudah menjadi film. Dan kabar menariknya adalah; semua novel itu sebelum difilmkan telah mencapai angka penjualan yang fantastis. Saya mulai terhentak, bahwa dunia ini tidak di isi oleh orang-orang yang idealis, dan yang bersahaja, ada juga orang-orang yang oportunis, dan sebuah industri tidak akan menjadi industri tanpa adanya orang-orang yang oportunis, orang-orang yang oportunis dengan bahasa marketing, dan khususnya orang-orang yang oportunis terhadap kata-kata best seller. Kasihan sekali nasib buku-buku bagus yang mungkin sudah di retur karena tampilan luarnya buruk walaupun isinya mencengangkan. Begitu juga buku yang difilmkan, beberapa yang sukses karena simbiosis yang saling menguntungkan antara nama buku, dan nama aktor. Yang lain merupakan optimalisasi dari promosi, dan itu semua bermuara pada grafik chart yang terus menanjak, opportunity to get money, ya, saya tahu bahwa untuk memproduksi satu film yang berkualitas dibutuhkan dana yang tidak sedikit, tidak ada salahnya sama sekali apabila bayak buku-buku best seller yang difilmkan, hanya saja nasib buku yang lain yang tidak se-best seller buku yang difilmkan itu menjadi tidak menentu, dan cenderung membuat masyarakat megkotak-kotakan minatnya hanya pada yang best seller saja.

Beberapa orang, setelah menonton buku yang telah difilmkan mulai membanding-bandingkan antara buku dan filmnya, contohnya film Harry Potter yang beberapa adegan di buku setebal big mac itu ditiadakan, alasannya adalah, lagi-lagi adegan yang kurang komersil, atau ketika cintapucinno difilmkan, setelah menonton film itu teman saya marah-marah lalu berkata “kok beda banget sih sama novelnya!” saya hanya bisa berkata “itu bukan based on, tapi inspiring on”, menariknya adalah terjadi hubungan saling menguntungkan, setelah menonton buku yang difilmkan, tak jarang ada beberapa orang yang baru tahu kalau film itu based on sebuah novel, dan lantas membelinya. Buku-buku bersinar itu semakin bersinar lagi tentunya, sampai-sampai grafik menanjak dalam presentasi penjualan naik sampai ke langit-langit, dan kasihan sekali buku-buku yang nasibnya tidak beruntung kini mulai masuk ke tempat daur ulang kertas. Menurut saya, banyak sekali nilai-nilai dalam sebuah buku yang tidak hanya sekedar bercerita ketika di filmkan, tetapi bagaimana masyarakat dapat membaca sebuah film dan sekaligus menonton sebuah buku, bukan karena dipengaruhi faktor-faktor best seller yang pasti menjanjikan tempat duduk bioskop menjadi penuh. Pastinya ada tantangan tersendiri bagi para pembuat film untuk membuat film-film dari buku best seller, tapi ada jaminan tersendiri bahwa buku-buku best seller sebelumnya sudah punya penggemar. Akankah lebih menantang lagi jika menggarap sebuah buku yang bagus dari segala sisi walaupun tidak best seller, ya, walapun tidak best seller tapi berkualitas, menjadi tantangan semua bagian dalam suatu produksi film, si bagian promosi mencari-cari ide yang segar untuk promosi tanpa mencantumkan embel-embel best seller, si bagian penulis naskah tidak terbebani dengan kata-kata best seller sebuah novel, si sutradara dapat lebih bereksperimen dalam filmnya kali ini, dan jadinya membaca atau menonton film dan buku sama puasnya, sama nilainya, sama rasanya. Kejadian barusan benar-benar akan terjadi di mulai dari toko buku, apabila benar-benar memperlakukan semua buku sama, entah siapa penerbitnya, penulisnya, embel-embelnya, dan tidak membiarkan buku-buku terbungkus plastik (toh plastik justru akan menambah gunungan sampah), biarkanlah orang-orang membaca buku dengan nyaman dan tidak berpikiran negatif terhadap ROJALI (rombongan jarang beli), yakinlah buku-buku setebal big mac tidak akan habis dibaca dalam beberapa jam, lalu ada skenario baru bahwa buku-buku yang telah dibaca setengah halaman lambat laun pasti akan di beli, skenario baru lainnya adalah semua buku bagus akan mendapat kesempatan yang sama untuk difilmkan, entah itu buku dengan embel-embel atau non embel-embel. Skenario baru tersebut memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk bebas membaca buku sesukanya sesuai selera, promosi hanya sebagai jembatan penyampain informasi publisher dan pihak toko buku kepada masyarakat, biarlah masyarakat sendiri yang menentukan apa yang dibutuhkan tanpa adanya iming-iming dari embel-embel dan promosi yang berlebihan.

Rabu, 03 September 2008

Domino effect












Think before; think first; before; after all. Just consider if anyone in this world had chance to do something that take an effect, affecting someone around, or someone could be one of object or subject. Adakalanya jika kita berbicara tentang sesutu yang berhubungan dengan "tak ada habisnya" seperti teori relativitas, yang juga mengupas segalanya sampai ke bagian yang masih bisa dibagi-bagi lagi menjadi beberapa bagian, yup, itu dia pasti tidak akan ada habisnya. selalu mencari pembenaran ditengah-tengah kesalahan dan sebaliknya. Manusia yang utuh sering bertanya tentang detail, tentang denial, tentang segala hal yang belum terpuaskan. Relativitas awalnya saya kira adalah teori yang tepat ketika seorang manusia mempertanyakan tentang hakiki, tentang sifat yang mendasar benar atau salah, menurut kata dasar 'relatif', tetapi yang saya temui malah rumus-rumus gila milik Plato, Einstein, Newton, tentang hukum ruang dan waktu, tentang gerak, tentang cahaya...atau cacah relativitas umum dan khusus yang di uraikan oleh V Smilga, I don't give a fuck with that. Relatif dan teori relativitas secara filsafat berhubungan satu sama lainnya, tetapi terlalu susah untuk memahami teori seperti itu, teori yang membuat merinding. Lalu saya pikir-pikir lagi (setelah menonton film domino, Mrs Knightley as Domino di film itu), saya pernah bermimpi buruk, tentang saya sendiri, yang makin lama makin kecil, lalu berada di tengah-tengah galaksi andromeda, begitu kecilnya dan tidak memahami siapa diri saya, siapa saya sesungguhnya, nama saya pun tidak berarti apa-apa, saya seperti sosok yang tidak punya sosok, atau tidak punya identitas pribadi yang harus dikenali sendiri. semua pikiran manusia seperti mind mapping mempunyai kilatan penyampaian pesan dalam otak yang terus-menerus berjalan berputar-putar di dalam otak. membagi-bagi setiap hal menjadi lebih detail, lalu semakin lama semakin mempertanyakan tentang suatu bentuk. dari situlah sebuah sifat dan bentuk menjadi sangat ambigu, kadang sesuatu yang sifatnya padat tiba-tiba menjadi kosong, seperti pementahan kembali segala yang kita rasakan melalui panca indera. saya tidak tahu menyebutnya sebagai apa, tetapi mungkin sejenis domino effect, cara berpikir secara detail yang menjurus pada relativitas, berpikir sekaligus mempertanyakan. berpikir melalui berbagai prespektif. mungkin nanti sambil berjalan kita bisa menemukan apa saja yang mengganjal pikiran kita. Semua itu memang akan berdampak langsung pada diri kita dan orang lain. Kita tidak diciptakan untuk berdiam saja bukan? jadi mulailah membuat suatu wacana baru tentang prespektif kita sendiri yang banyak. Danke...


Selasa, 02 September 2008

Leisure, pleasure, and play







From Merriam webster, Pleasure (thesaurus); the feeling experienced when one's wishes are met Synonyms; content, contentedness, contentment, delectation, delight, enjoyment, gladness, gratification, happiness, relish, satisfaction
Leisure (Thesaurus); freedom from activity. Play (Thesaurus); to engage in activity for amusement Synonyms dally, disport, frolic, recreate, rollick, sport
okay that's enough for Pleasure's thesaurus, the issue on posting today is about some article, feature on A+ Magazine (a segmented magazine for lifestyle lover, lil' bit "hedon", an absolut a with uncapital alphabet ) august 2007 edition, the issue is about leisure, and when I read again from my trunk in my closet, I'm pretty confused about Anggoro Gunawan's Article, sorry to say...it suck it does! (I mean that Article). Saya lihat Hilight tentang "leisure" yang di situ ditulis bahwa bukan hanya waktu luang saja, tapi bagaimana kita memanfaatkan waktu luang, saya sempat berdiskusi dengan Dr Tannete Adrianus Pong Masak tentang leisure, pleasure, and play, dimana pleasure lah suatu bentuk pemanfaatan maksimal waktu leisure kita yang juga membutuhkan play, that play things and leisure things could combine as one and met at the end into pleasure, play tanpa leisure tidak akan pernah menjadi play, dan juga sebaliknya. saya lebih setuju dengan definisi leisure menurut Peter Salim. dan yang paling tidak dapat dimengerti adalah ketika kata leisure tadi (menurut pemahaman Anggoro Gunawan) bersentuhan dengan beberapa orang, interview dari beberapa orang menyebutkan bahwa atri hakiki dari leisure justru ditampak-kan oleh satu orang saja. saya tidak setuju beberapa hal dalam artikel tersebut, tetapi saya juga setuju tentang "quality time" yang juga dibahas. saya bereskan lagi majalah-majalah bekas, dan membuangnya ke gudang, mungkin suatu saat akan saya baca lagi. then I think again my pleasure is when I have a lot time with the sun in a beach over bali island.

Senin, 01 September 2008

Puasa, Life is free...




Today is my first day in fasting month, there's nothing special, I almost nothing do some work which related with some word called "Productivity", hahahahaha, what I do now is sitting in nice sofa on the hot spot area, I'm fasting now, and free parking by the way, so today I spend nothing, beside maybe I would like to buy some new dvd movie on ITC, fuuuh I don't know I just want to fill my day as productive as I want, so far...it usefull, waiting my book publish, soon...hmmm I don't know, or, there's many "'or" things indicate that I can't describe about tomorrow, as some phrase that I found in kungfu panda, Tomorrow is a mystery...no body knows...yes I learn that from stupid film, that film can teach us about value and norm. okay I had informed before from my cousin to download video from youtube using keepvid.com, and now I almost download many live video from tokyo police club, and some indie band from indonesia "gunver" as a note, that brit rock band is semifinalis from la indifest 2008, I also download their song from http://shiningrecords.com/gunver-metropolis/. I also took several times to search about heroes season 3, yup again and again I found it from youtube. the point is...life is free, sure it's very free today...