Kamis, 04 September 2008

Menonton Buku, Membaca Film

Pertanyaan pertama adalah; Berapa banyak buku yang diterbitkan tiap bulannya, saya tidak pernah tahu angka yang signifikan, tetapi ketika menyempatkan diri ke toko buku, saya bisa tahu buku mana yang baru saja diterbitkan (karena memang ada rak-rak atau meja khusus yang disediakan untuk buku baru, baik fiksi maupun non fiksi). Kebanyakan buku-buku itu terutama novel, essai atau karya sastra yang lainnya dilapisi plastik pelindung yang sudah tentu tidak dapat dibuka untuk sekedar dibaca di toko buku, atau kalaupun ada yang dibuka tidak ada tempat duduk nyaman seperti di perpustakaan yang membiarkan pembaca buku menggunakan waktunya berjam-jam untuk sekedar membaca buku. Lepas dari sisi marketing dan kebijakan toko buku, menurut pandangan saya, ketika buku mulai dibungkus plastik berarti sama saja dengan sebuah barang untuk di konsumsi seketika dan mudah rusak (barang yang menurut saya asosiatif dengan makanan yang dibungkus atau makanan dalam kemasan, contohnya; snack). Di dalam sebuah makanan dalam kemasan saya bisa mengetahui komposisinya dan informasi nutrisinya apa melalui bungkusnya, lalu saya bayangkan rasanya seperti apa. “Tortila chips rasa barberque” misal, saya tahu rasanya seperti apa, dan tidak memerlukan sampling, saya putuskan untuk membeli walaupun kadang kemasannya tidak menarik, saya pikir yang penting adalah komposisi rasanya. Kembali kepada permasalahan buku yang dikemas, orang awam seperti saya akan tergoda jika buku itu mempunyai sampul yang menarik, atau ada tulisan glossy yang bertuliskan “best seller”, atau ada tulisan “rekomendasi Mr X / Mrs X (X = seseorang yang terkenal dengan talkshownya atau mungkin terkenal di komunitasnya) atau ada tulisan peraih penghargaan apa atau diletakkan di display yang paling kelihatan mata, atau mungkin dekat dengan meja kasir (mungkin hasil negosiasi yang berbelit antara publisher dengan pihak toko buku). Don't judge a book by the cover, salah, yang benar adalah judge a book by the cover, yes it is, I really do, selama ini saya melihat buku dari covernya, pengaruh terbesar untuk memutuskan membeli buku adalah berdasarkan covernya (menurut saya), variabel yang lain adalah sinopsis buku di bagian belakang, Penulisnya, dan judulnya yang mungkin mainstream dan juga mungkin tidak mainstream, satu alasan karena buku tersebut dikemas rapat dengan plastik tipis transparan. Akhirnya saya tersadar bahwa banyak buku yang sangat bagus tapi nasibnya tidak berkilau seperti buku dengan tulisan best seller, banyak yang tidak tersentuh karena isinya terlalu berat, atau karena isinya kurang komersil, dan mungkin tidak lazim. Jadi bagus atau tidaknya buku adalah relatif sama bagi kebanyakkan orang, dan tidak luput dari faktor promosi yang gencar. Dari banyaknya buku yang diterbitkan perbulan, hanya beberapa yang bersinar, selebihnya masih rapih terbungkus plastik, dan ditaruh di rak yang ketika mau meraih buku itu harus membungkuk terlebih dahulu, buku-buku bagus itu tidak diletakkan di eye level (eye level; bagian rak yang sejajar dengan pandangan mata), tapi justru menunggu untuk di retur. Sedangkan buku-buku yang bersinar oleh entah apa namanya sebuah promosi gencar-gencaran, dan disukai mayoritas justru nanti akan jauh lebih bersinar ketika menjadi script film dan merchandisenya ada di mana-mana.

Ketika beberapa novel dijadikan script untuk film, kita mulai berandai-andai akankah novel favorit akan dijadikan film, saya lihat dulu apakah novel favorit saya ada embel-embel di covernya, oh ternyata tidak, ya simpan saja novel itu sampai saya atau mungkin orang lain tergerak untuk membuat film berbudget rendah. Kabar terakhir yang saya dengar adalah sebuah novel akan difilmkan oleh sutradara ternama, sebelumnya ada beberapa teenlit dan chicklit yang sudah menjadi film. Dan kabar menariknya adalah; semua novel itu sebelum difilmkan telah mencapai angka penjualan yang fantastis. Saya mulai terhentak, bahwa dunia ini tidak di isi oleh orang-orang yang idealis, dan yang bersahaja, ada juga orang-orang yang oportunis, dan sebuah industri tidak akan menjadi industri tanpa adanya orang-orang yang oportunis, orang-orang yang oportunis dengan bahasa marketing, dan khususnya orang-orang yang oportunis terhadap kata-kata best seller. Kasihan sekali nasib buku-buku bagus yang mungkin sudah di retur karena tampilan luarnya buruk walaupun isinya mencengangkan. Begitu juga buku yang difilmkan, beberapa yang sukses karena simbiosis yang saling menguntungkan antara nama buku, dan nama aktor. Yang lain merupakan optimalisasi dari promosi, dan itu semua bermuara pada grafik chart yang terus menanjak, opportunity to get money, ya, saya tahu bahwa untuk memproduksi satu film yang berkualitas dibutuhkan dana yang tidak sedikit, tidak ada salahnya sama sekali apabila bayak buku-buku best seller yang difilmkan, hanya saja nasib buku yang lain yang tidak se-best seller buku yang difilmkan itu menjadi tidak menentu, dan cenderung membuat masyarakat megkotak-kotakan minatnya hanya pada yang best seller saja.

Beberapa orang, setelah menonton buku yang telah difilmkan mulai membanding-bandingkan antara buku dan filmnya, contohnya film Harry Potter yang beberapa adegan di buku setebal big mac itu ditiadakan, alasannya adalah, lagi-lagi adegan yang kurang komersil, atau ketika cintapucinno difilmkan, setelah menonton film itu teman saya marah-marah lalu berkata “kok beda banget sih sama novelnya!” saya hanya bisa berkata “itu bukan based on, tapi inspiring on”, menariknya adalah terjadi hubungan saling menguntungkan, setelah menonton buku yang difilmkan, tak jarang ada beberapa orang yang baru tahu kalau film itu based on sebuah novel, dan lantas membelinya. Buku-buku bersinar itu semakin bersinar lagi tentunya, sampai-sampai grafik menanjak dalam presentasi penjualan naik sampai ke langit-langit, dan kasihan sekali buku-buku yang nasibnya tidak beruntung kini mulai masuk ke tempat daur ulang kertas. Menurut saya, banyak sekali nilai-nilai dalam sebuah buku yang tidak hanya sekedar bercerita ketika di filmkan, tetapi bagaimana masyarakat dapat membaca sebuah film dan sekaligus menonton sebuah buku, bukan karena dipengaruhi faktor-faktor best seller yang pasti menjanjikan tempat duduk bioskop menjadi penuh. Pastinya ada tantangan tersendiri bagi para pembuat film untuk membuat film-film dari buku best seller, tapi ada jaminan tersendiri bahwa buku-buku best seller sebelumnya sudah punya penggemar. Akankah lebih menantang lagi jika menggarap sebuah buku yang bagus dari segala sisi walaupun tidak best seller, ya, walapun tidak best seller tapi berkualitas, menjadi tantangan semua bagian dalam suatu produksi film, si bagian promosi mencari-cari ide yang segar untuk promosi tanpa mencantumkan embel-embel best seller, si bagian penulis naskah tidak terbebani dengan kata-kata best seller sebuah novel, si sutradara dapat lebih bereksperimen dalam filmnya kali ini, dan jadinya membaca atau menonton film dan buku sama puasnya, sama nilainya, sama rasanya. Kejadian barusan benar-benar akan terjadi di mulai dari toko buku, apabila benar-benar memperlakukan semua buku sama, entah siapa penerbitnya, penulisnya, embel-embelnya, dan tidak membiarkan buku-buku terbungkus plastik (toh plastik justru akan menambah gunungan sampah), biarkanlah orang-orang membaca buku dengan nyaman dan tidak berpikiran negatif terhadap ROJALI (rombongan jarang beli), yakinlah buku-buku setebal big mac tidak akan habis dibaca dalam beberapa jam, lalu ada skenario baru bahwa buku-buku yang telah dibaca setengah halaman lambat laun pasti akan di beli, skenario baru lainnya adalah semua buku bagus akan mendapat kesempatan yang sama untuk difilmkan, entah itu buku dengan embel-embel atau non embel-embel. Skenario baru tersebut memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk bebas membaca buku sesukanya sesuai selera, promosi hanya sebagai jembatan penyampain informasi publisher dan pihak toko buku kepada masyarakat, biarlah masyarakat sendiri yang menentukan apa yang dibutuhkan tanpa adanya iming-iming dari embel-embel dan promosi yang berlebihan.

Tidak ada komentar: