Ketika beberapa novel dijadikan script untuk film, kita mulai berandai-andai akankah novel favorit akan dijadikan film, saya lihat dulu apakah novel favorit saya ada embel-embel di covernya, oh ternyata tidak, ya simpan saja novel itu sampai saya atau mungkin orang lain tergerak untuk membuat film berbudget rendah. Kabar terakhir yang saya dengar adalah sebuah novel akan difilmkan oleh sutradara ternama, sebelumnya ada beberapa teenlit dan chicklit yang sudah menjadi film. Dan kabar menariknya adalah; semua novel itu sebelum difilmkan telah mencapai angka penjualan yang fantastis. Saya mulai terhentak, bahwa dunia ini tidak di isi oleh orang-orang yang idealis, dan yang bersahaja, ada juga orang-orang yang oportunis, dan sebuah industri tidak akan menjadi industri tanpa adanya orang-orang yang oportunis, orang-orang yang oportunis dengan bahasa marketing, dan khususnya orang-orang yang oportunis terhadap kata-kata best seller. Kasihan sekali nasib buku-buku bagus yang mungkin sudah di retur karena tampilan luarnya buruk walaupun isinya mencengangkan. Begitu juga buku yang difilmkan, beberapa yang sukses karena simbiosis yang saling menguntungkan antara nama buku, dan nama aktor. Yang lain merupakan optimalisasi dari promosi, dan itu semua bermuara pada grafik chart yang terus menanjak, opportunity to get money, ya, saya tahu bahwa untuk memproduksi satu film yang berkualitas dibutuhkan dana yang tidak sedikit, tidak ada salahnya sama sekali apabila bayak buku-buku best seller yang difilmkan, hanya saja nasib buku yang lain yang tidak se-best seller buku yang difilmkan itu menjadi tidak menentu, dan cenderung membuat masyarakat megkotak-kotakan minatnya hanya pada yang best seller saja.
Beberapa orang, setelah menonton buku yang telah difilmkan mulai membanding-bandingkan antara buku dan filmnya, contohnya film Harry Potter yang beberapa adegan di buku setebal big mac itu ditiadakan, alasannya adalah, lagi-lagi adegan yang kurang komersil, atau ketika cintapucinno difilmkan, setelah menonton film itu teman saya marah-marah lalu berkata “kok beda banget sih sama novelnya!” saya hanya bisa berkata “itu bukan based on, tapi inspiring on”, menariknya adalah terjadi hubungan saling menguntungkan, setelah menonton buku yang difilmkan, tak jarang ada beberapa orang yang baru tahu kalau film itu based on sebuah novel, dan lantas membelinya. Buku-buku bersinar itu semakin bersinar lagi tentunya, sampai-sampai grafik menanjak dalam presentasi penjualan naik sampai ke langit-langit, dan kasihan sekali buku-buku yang nasibnya tidak beruntung kini mulai masuk ke tempat daur ulang kertas. Menurut saya, banyak sekali nilai-nilai dalam sebuah buku yang tidak hanya sekedar bercerita ketika di filmkan, tetapi bagaimana masyarakat dapat membaca sebuah film dan sekaligus menonton sebuah buku, bukan karena dipengaruhi faktor-faktor best seller yang pasti menjanjikan tempat duduk bioskop menjadi penuh. Pastinya ada tantangan tersendiri bagi para pembuat film untuk membuat film-film dari buku best seller, tapi ada jaminan tersendiri bahwa buku-buku best seller sebelumnya sudah punya penggemar. Akankah lebih menantang lagi jika menggarap sebuah buku yang bagus dari segala sisi walaupun tidak best seller, ya, walapun tidak best seller tapi berkualitas, menjadi tantangan semua bagian dalam suatu produksi film, si bagian promosi mencari-cari ide yang segar untuk promosi tanpa mencantumkan embel-embel best seller, si bagian penulis naskah tidak terbebani dengan kata-kata best seller sebuah novel, si sutradara dapat lebih bereksperimen dalam filmnya kali ini, dan jadinya membaca atau menonton film dan buku sama puasnya, sama nilainya, sama rasanya. Kejadian barusan benar-benar akan terjadi di mulai dari toko buku, apabila benar-benar memperlakukan semua buku sama, entah siapa penerbitnya, penulisnya, embel-embelnya, dan tidak membiarkan buku-buku terbungkus plastik (toh plastik justru akan menambah gunungan sampah), biarkanlah orang-orang membaca buku dengan nyaman dan tidak berpikiran negatif terhadap ROJALI (rombongan jarang beli), yakinlah buku-buku setebal big mac tidak akan habis dibaca dalam beberapa jam, lalu ada skenario baru bahwa buku-buku yang telah dibaca setengah halaman lambat laun pasti akan di beli, skenario baru lainnya adalah semua buku bagus akan mendapat kesempatan yang sama untuk difilmkan, entah itu buku dengan embel-embel atau non embel-embel. Skenario baru tersebut memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk bebas membaca buku sesukanya sesuai selera, promosi hanya sebagai jembatan penyampain informasi publisher dan pihak toko buku kepada masyarakat, biarlah masyarakat sendiri yang menentukan apa yang dibutuhkan tanpa adanya iming-iming dari embel-embel dan promosi yang berlebihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar